HistoriPos.com, Pohuwato — Suasana di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, memanas seiring dengan rencana aksi massa besar-besaran yang digagas oleh Aliansi Masyarakat Bersama Penambang Daerah (AMBEPEDA). Aksi ini direncanakan akan dipusatkan di Desa Hulawa dan sekitarnya, sebagai puncak dari kekecewaan masyarakat terhadap berbagai isu yang tak kunjung terselesaikan, terutama yang berkaitan dengan aktivitas tambang.
Jenderal Lapangan AMBEPEDA, Taufik Dunggio, menegaskan bahwa aksi kali ini berbeda dari unjuk rasa biasa.
“Ini akan menjadi aksi massa terbesar, karena beberapa hari terakhir kami telah menyebarkan selebaran dan berkomunikasi langsung dengan tukang ojek, pedagang, serta kabilasa. Sudah banyak masyarakat yang menyatakan siap bergabung,” ujar Taufik.
Menurut AMBEPEDA, penderitaan masyarakat kecil semakin memuncak akibat dugaan praktik-praktik tidak sehat yang dilakukan oleh perusahaan dan lemahnya regulasi pemerintah. Mereka menuding negara dan perusahaan tambang mengabaikan penderitaan rakyat demi kepentingan ekonomi semata.
Ada enam persoalan utama yang menjadi tuntutan dalam aksi ini, mencakup masalah ekonomi, sosial, dan lingkungan yang berdampak langsung pada kehidupan warga:
Hak Masyarakat Adat yang Terabaikan: AMBEPEDA menyoroti hak masyarakat adat atas pengelolaan tambang yang dinilai semakin tergerus. Mereka mendesak pemerintah untuk mengembalikan hak-hak tersebut agar masyarakat dapat merasakan manfaat nyata dari kekayaan alam di wilayah mereka.
Krisis Air Bersih: Masyarakat di Desa Hulawa mengeluhkan krisis air bersih yang terus berlanjut. Kondisi ini diduga akibat dampak langsung dari operasional tambang, yang merusak sumber-sumber air alami.
Infrastruktur Jalan yang Rusak: Kondisi jalan desa yang rusak parah dan tak kunjung diperbaiki menghambat aktivitas ekonomi dan mobilitas warga. AMBEPEDA menuntut agar perusahaan tambang bertanggung jawab penuh atas kerusakan ini.
Infrastruktur Jalan yang Rusak: Kondisi jalan desa yang rusak parah dan tak kunjung diperbaiki menghambat aktivitas ekonomi dan mobilitas warga. AMBEPEDA menuntut agar perusahaan tambang bertanggung jawab penuh atas kerusakan ini.
Permasalahan Ketenagakerjaan: Adanya ketidakadilan dalam rekrutmen tenaga kerja di perusahaan tambang menjadi sorotan utama. Masyarakat menganggap perusahaan tidak berpihak pada tenaga kerja lokal, sehingga janji-janji kesejahteraan yang sempat disuarakan tidak terealisasi.
Penciutan Wilayah Tambang: Aksi ini juga menuntut penjelasan terkait penciutan wilayah tambang seluas 100 hektare yang berdampak langsung pada ruang hidup masyarakat.
Distribusi Dana CSR yang Tidak Jelas: AMBEPEDA mempertanyakan transparansi dan efektivitas dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan. Mereka menuding distribusi dana tidak jelas dan tidak tepat sasaran, sehingga masyarakat setempat tidak merasakan manfaat dari keberadaan perusahaan.
Selain itu, AMBEPEDA juga menyinggung polemik pengalihan status Desa Hulawa yang menimbulkan keresahan, serta tata letak Polsubsektor Buntulia yang dianggap tidak strategis dalam menjaga keamanan warga.
Taufik Dunggio menegaskan, jika persoalan ini terus diabaikan, ia khawatir kemarahan rakyat akan kembali memuncak. Ia mengingatkan kembali tragedi 21 September 2023 yang sempat menorehkan luka mendalam bagi masyarakat Pohuwato.
“Kalau pihak perusahaan masih memancing kemarahan rakyat dengan mengabaikan tuntutan yang sudah berulang kali disuarakan, jangan salahkan masyarakat ketika perlawanan kembali membesar,” tegasnya.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak perusahaan tambang maupun pemerintah daerah. Masyarakat kini menanti langkah nyata dari para pemangku kepentingan, agar gelombang ketidakpuasan tidak semakin membesar dan berujung pada konfrontasi yang merugikan semua pihak. (Rh)















