HistoriPos.com, Pohuwato — Wakil Ketua I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Pohuwato, Hamdi Alamri, menyampaikan tanggapan tegas mengenai penolakan mayoritas penambang lokal terhadap tawaran “tali asih” dari pihak perusahaan. Menurutnya, tawaran tersebut dinilai tidak logis, tidak manusiawi, dan secara prinsip menyinggung martabat penambang yang beraktivitas di tanah leluhur mereka.
Pernyataan ini muncul setelah beredar informasi pada Jum’at (05/12/2025) bahwa sebagian besar dari sekitar 120 pemilik lokasi penambangan yang tersisa telah menolak tawaran kompensasi yang diajukan perusahaan.
Dalam keterangannya, Hamdi Alamri menjelaskan bahwa penolakan tersebut berakar dari keberatan prinsipil terhadap penggunaan istilah “tali asih.”
“Prinsipnya, penambang Pohuwato tidak setuju dengan istilah tali asih karena seakan-akan itu adalah pemberian dan rasa kasihan perusahaan, seolah masyarakat hanya menumpang di tanah leluhur mereka,” ujar Hamdi melalui pesan WhatsApp.
Meskipun demikian, ia mengakui bahwa para penambang berada di posisi yang sulit karena faktor yuridis, yakni beraktivitas di wilayah yang tidak berizin. Hal ini membuat mereka pada akhirnya terpaksa menerima istilah tersebut di tengah desakan kondisi.
Hamdi Alamri secara eksplisit mengecam nilai kompensasi yang ditawarkan perusahaan.
“Tali asih yang ditawarkan perusahaan sama sekali tidak logis dan tidak manusiawi. Karena itu sangat wajar, bahkan wajib, untuk ditolak oleh masyarakat,” tegasnya.
Ia juga menyoroti adanya data penambang yang hilang atau diabaikan oleh perusahaan. Menurutnya, jumlah penambang yang terdampak sebenarnya jauh lebih besar dari angka 120 yang selama ini ditampilkan.
“Masyarakat penambang yang terdampak bukan hanya 120 orang, masih ada ratusan lainnya yang sebelumnya sudah terdata oleh perusahaan. Jika tali asih diharapkan bisa menjadi solusi, maka perusahaan wajib menyelesaikannya untuk seluruh penambang yang terdampak,” jelas Hamdi.
Tuntut Realisasi Janji Alih Profesi
Selain masalah kompensasi, DPRD Pohuwato juga mendesak perusahaan untuk segera menunaikan janji awal mereka terkait program alih profesi bagi penambang lokal.
“Kewajiban perusahaan sesuai janji awal adalah memberikan alih profesi. Ini harus ditunaikan. Tidak mungkin masyarakat yang bertahun-tahun bekerja sebagai penambang kemudian dibiarkan menjadi pengangguran,” tegasnya, menuntut komitmen tersebut diwujudkan bukan sekadar retorika.
Menanggapi stigma negatif yang kerap dialamatkan kepada penambang lokal, Hamdi Alamri memberikan pandangan kritis terkait kerusakan lingkungan.
“Para penambang lokal Pohuwato sering dikonotasikan sebagai perusak lingkungan. Tetapi pertanyaannya, apakah hanya penambang lokal yang merusak lingkungan? Perusahaan tidak? Karena menurut saya, tatanan alam yang sudah ditatah oleh Tuhan lalu dirambah oleh manusia, pasti tidak akan pernah kembali seperti semula,” pungkasnya.



















