Oleh: Najid Lasale
KABUPATEN Pohuwato, sebuah daerah di bagian Barat Provinsi Gorontalo ini, adalah daerah yang kaya akan Potensi Sumber Daya Alamnya (SDA). Bahkan daerah yang dikenal dengan nama ‘Bumi Panua’ itu juga menyimpan harta karun yang menjadi salah satu terbesar di Indonesia.Di tanahnya, menyimpan jutaan ons emas. Tapi, untuk siapa ?
Sementara, para pemburu harta karun di Pohuwato, yang hadir dengan wajah Investor, kini leluasa menggeruk emas yang tersimpan di tanahnya.
Sebetulnya, kita tidak sedang mengutuki kehadiran investor tambang di Pohuwato. Toh, kehadiran mereka diharapkan dapat memberikan nilai tambah ekonomi kepada masyarakat . Tapi, realitasnya justru menampilkan potret terbalik.
Masyarakat Pohuwato, terutama mereka yang memang sejak awal bekerja sebagai penambang, kini menjadi terpinggirkan. Mereka seperti sedang melihat praktek Kolonialisme dalam bentuk baru. Mereka di usir dari tempatnya mencari emas, jalanan yang biasa mereka lalui di desa Hulawa, Buntulia, pun ditutup. Alhasil, mereka memilih melintasi sungai sebagai jalan alternatif untuk menuju lokasi pertambangannya.
Dengan kondisi itu, kita tidak bisa memaksa masyarakat untuk menyambut dengan ramah kehadiran investor tambang di Pohuwato. Tapi, kita pun tidak menginginkan ada konflik yang hadir dari pertambangan ini.
Sejatinya, antara investor pertambangan Pani Gold Project dan Penambang, harus sama – sama diuntungkan. Pani Gold Project untung, penambangpun harus untung. Pani Gold Project dan Penambang, kini telah menjadi tetangga. Dan selayaknya tetangga, jangan menjadi tetangga yang senang melihat tetangganya yang lain susah. Begitupun, Pani Gold Project tak boleh jadi tetangga yang senang berbagi kepada tetangganya, tapi meminta tetangganya untuk beralih profesi.
Perlu diketahui, bahwa kultur masyarakat penambang Pohuwato hari ini, karena dipengaruhi oleh kebiasaan penduduknya di masa lampau. Aktivitas tambang oleh masyarakat di Pohuwato, sudah mulai berlangsung bahkan sebelum wilayah ini diberi nama Pohuwato. Sehingga meminta mereka beralih profesi dengan memberikannya tali asih, adalah hal sulit untuk dilakukan.
Menurut ceritanya, aktivitas tambang di Pohuwato sudah dimulai jauh sebelum Raja Monoarfa dan Reinwardt melakukan perjalanan ke Pagoewat (Sekarang Pohuwato) pada tahun 1821. Dalam perjalanannya, mereka tak lupa melihat aktivitas pertambangan emas oleh penduduk kala itu.
Sejak dahulu, Pohuwato memang sudah dikenal dengan potensi Emas yang tersimpan di tanah dan sungai – sungainya. Karenanya, potensi Emas yang terkandung di tanah Pohuwato itu harus dikelola dengan baik untuk kesejahteraan masyarakat.
Hadirnya investor tambang di Pohuwato juga harus benar – benar memberikan nilai tambah bagi masyarakatnya. Masyarakat Pohuwato tak boleh hanya dijadikan penonton. Masyarakat Pohuwato harus turut dilibatkan mengolah dan menikmati potensi emas yang dimiliki.
Daerah ini kaya akan Potensi sumber dayanya, maka masyarakatnya juga harus kaya. Kita tentu tidak ingin seperti penduduk di Afrika. Kita perlu belajar dari sejarah Negara – negara di Benua ini. Alamnya di eksploitasi,tapi penduduknya miskin. Karena yang menikmati hasil – hasil tambangnya hanya pemodal – pemodal, sementara penduduknya hanya dijadikan penonton. Pohuwato tidak boleh jadi seperti itu.