HistoriPos.com, Pohuwato — Konflik sengketa lahan memanas di Desa, Popayato, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, setelah Pemerintah Desa menghadapi klaim sepihak atas lahan yang telah digunakan sebagai kantor dan fasilitas umum (eks-KUD dan Waserda) selama lebih dari tiga dekade. Situasi diperparah dengan dugaan intervensi dari oknum kerabat aparat penegak hukum yang menyebabkan aparat Polsek setempat bimbang dalam menjalankan tugas pengamanan.
Konflik ini terjadi pada sebidang tanah yang diketahui secara administrasi berada di dalam kawasan Hak Guna Usaha (HGU). Di atas lahan tersebut, berdiri kokoh bangunan yang awalnya digunakan oleh Koperasi Unit Desa (KUD) dan Waserda, didirikan sejak tahun 1984. Setelah KUD tidak aktif, bangunan tersebut dialihfungsikan dan dikelola penuh oleh Pemerintah Desa dan Kecamatan untuk pelayanan publik. Berdasarkan catatan desa, pembangunan gedung tersebut bahkan sudah mengantongi izin kantor sejak tahun 1984, jauh sebelum klaim muncul.
Permasalahan muncul ketika salah seorang datang dan mengklaim kepemilikan lahan tersebut. Klaim mereka didasarkan pada selembar kuitansi jual beli kelapa tahun 1989.
Kepala Desa Popayato, melalui Sekretaris Desa Zulkifli Latif, menyatakan keberatan terhadap bukti tersebut.
“Kami menanyakan surat kepemilikan yang sah. Surat yang mereka tunjukkan hanya kuitansi jual beli kelapa dengan luas 60×40 Desa Popayato, tanpa penjelasan batas-batas yang jelas. Ini tidak bisa menjadi dasar klaim tanah. Objeknya tahun 1989 pun kelapa, padahal kantor kami sudah berdiri sejak 1984 dengan izin resmi,” ujar Sekdes Zulkifli Latif kepada awak media historipos.com, Kamis, (13/11/2025).
Pemerintah Desa telah meminta pihak pengklaim untuk menempuh jalur hukum yang sah mengingat ketidakjelasan objek dalam kuitansi tersebut.
Alih-alih menempuh jalur hukum, pihak pengklaim justru melakukan tindakan pembongkaran fisik secara sepihak terhadap salah satu fasilitas yang ditempati warga (berdasarkan izin pemerintah desa) di lokasi tersebut, memicu kehebohan di tengah masyarakat.
Saat Pemerintah Desa berupaya meminta bantuan Polsek setempat untuk menghentikan tindakan pembongkaran yang dianggap main hakim sendiri (penyerobotan dan perusakan), Polsek dilaporkan menunjukkan keraguan.
“Kami datang ke Polsek agar tindakan mereka (pembongkaran) dihentikan, karena belum ada putusan hukum yang sah. Namun, Polsek justru balik bertanya, ‘apa dasar desa meminta dihentikan?’,” jelas Zulkifli
Keraguan aparat penegak hukum ini diduga kuat dipengaruhi oleh adanya intervensi dari kerabat pihak pengklaim yang bertugas di Mabes Polri, sehingga menghambat proses pengamanan dan penegakan hukum di lapangan.
Dalam upaya mencari solusi damai, Pemerintah Desa dan Kecamatan telah mengundang pihak pengklaim untuk musyawarah di tingkat Kecamatan dan Polsek. Namun, pihak pengklaim selalu mangkir dari undangan mediasi tersebut.
Saat ini, Pemerintah Desa berencana segera menghubungi kembali Bupati Kabupaten Pohuwato untuk meminta dikeluarkannya surat resmi yang menegaskan bahwa tanah dan bangunan tersebut masuk dalam wilayah HGU dan merupakan aset yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan umum. Langkah ini diharapkan dapat menjadi dasar hukum kuat untuk menangkal klaim sepihak dan mengamankan aset dari tindakan perusakan.
Sementara itu, gedung Waserda yang menjadi objek sengketa saat ini juga digunakan sebagai tempat tinggal sementara bagi salah satu warga yang belum memiliki rumah. (Rh)
















