HistoriPos.com, Pohuwato — Pengakuan kepala desa bahwa dana Rp5 juta per alat berat dikumpulkan untuk perbaikan infrastruktur di tiga desa dari aktivitas tambang ilegal telah memicu polemik hukum. Tokoh masyarakat menilai tindakan tersebut adalah Pungli dan berpotensi TPPU, mendesak penegak hukum untuk bertindak.
Kontroversi ini mencuat setelah Kepala Desa Tirto Asri, Hajir Towalu, secara terbuka mengakui adanya pengumpulan dana tersebut. Menurut Hajir, iuran sebesar Rp5 juta dari setiap alat berat yang beroperasi di PETI Taluditi merupakan hasil kesepakatan bersama antara warga dan pihak pengguna alat berat.
Hajir berdalih bahwa dana yang terkumpul digunakan sepenuhnya untuk kegiatan swadaya berupa perbaikan infrastruktur di tiga desa terdampak: Puncak Jaya, Kalimas, dan Tirto Asri.
“Setahu saya, itu dilakukan untuk perbaikan jalan yang dilewati alat berat. Setiap alat menyumbang Rp5 juta, dan dana itu digunakan memperbaiki jalan di tiga desa,” ujar Hajir, seraya menambahkan bahwa kegiatan tersebut mencakup pembangunan jembatan dan normalisasi sungai sepanjang sekitar 750 meter.
Pernyataan ini langsung menuai kritik keras dari tokoh masyarakat Pohuwato, Yusuf Mbuinga. Yusuf menilai tindakan para kepala desa tersebut tidak dapat dibenarkan, meskipun dengan dalih perbaikan infrastruktur, karena pungutan itu dilakukan di wilayah aktivitas yang ilegal dan tidak diatur oleh regulasi resmi.
“Kalau menurut saya, sebaiknya tiga kepala desa tersebut tidak melakukan hal itu. Sebab, setiap pungutan yang tidak diatur oleh undang-undang atau peraturan resmi dapat dikategorikan sebagai Pungutan Liar (Pungli),” tegas Yusuf pada Minggu (9/11/2025).
Lebih lanjut, Yusuf mengingatkan bahwa PETI adalah kejahatan lingkungan. Permintaan setoran atau pungutan terhadap pelaku tambang ilegal dapat menyeret oknum kepala desa pada masalah hukum yang lebih serius.
“Kita semua tahu bahwa PETI adalah kejahatan lingkungan. Jadi, jika ada permintaan setoran terhadap pelaku tambang illegal, apa lagi disepakati dan diketahui secara sadar hal itu adalah salah, maka tindakan para oknum kepala desa bisa dijerat dengan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU),” jelasnya. Ia juga menekankan bahwa seorang kepala desa dilarang melakukan perbuatan tercela, sesuai Undang-Undang Pemerintahan Desa.
Yusuf Mbuinga mendesak aparat penegak hukum (APH) untuk segera turun tangan menindak tegas siapa pun yang terlibat dalam praktik pungutan ilegal ini. Ia menegaskan bahwa kasus ini tidak boleh dibiarkan, terutama karena pengakuan adanya pungutan sudah terekam secara digital.
“Kasus ini tidak boleh dibiarkan. Kami memiliki bukti digital terkait pengakuan itu. Sekarang kita ingin lihat, apakah aparat penegak hukum akan diam saja atau mengambil langkah hukum,” tutup Yusuf, menantikan respons dari pihak berwenang atas skandal yang melibatkan perangkat desa dalam ekosistem tambang ilegal Taluditi. (**)


















